Lakon
PAKAIAN DAN
KEPALSUAN
Saduran bebas
ACHDIAT K. MIHARDJA
Dari cerita
sandiwara Rusia The Man With The Green Necktie
Karya Averchenko
DRAMATIC
PERSONAE
SAMSU, pedagang
MAS ABU, pegawai negeri
SUMANTRI, pemimpin politik
RATNA, istri Sumantri
HAMID, penganggur dan bekas pejuang
RUSMAN, penganggur dan bekas pejuang
PELAYAN dan yang lain-lain
Tempat
berlaku Suatu pondok dalam sebuah
restoran kecil.
Waktu Kira-kira pukul 22.00
DI DALAM
RESTORAN SUDAH SEPI. HANYA RUSMAN DAN HAMID YANG MASIH DUDUK BERHADAPAN
MENGHADAPI SEBUAH MEJA KECIL. HAMID MINUM KOPI DAN RUSMAN BEER.
MEREKA MASIH
MUDA, +25 TH. BADAN HAMID BESAR, TEGAP SEPERTI ATLIT. RUSMAN AGAK KURUS,
TAPI KELIHATAN SEHAT DAN SEGAR. PAKAIAN MEREKA KURANG TERURUS, TERDIRI DARI
KEMEJA DAN PANTALON YANG SUDAH KUMAL.
HAMID
Yah, kalau kita
terlalu mengikat diri kepada segala apa yang pernah kita cita-citakan dulu dan
yang kini ternyata meleset semata-mata, maka memanglah kita harus kecewa
belaka. Apalgi kalau kita melihat keadaan dikalangan politik kita dewasa ini
dan bagaimana kotornya cara-cara pemimpin kita berbuat pengaruh dan kekuasaan,
maka bagi kita sebagai bekas pejuang yang kini masih menganggur….
RUSMAN
Tapi politik
memang kotor.
HAMID
Itu sama sekali
tidak benar. Politik tidak kotor. Malah sebaliknya politik adalah satu hal yang
murni. Sloganmu itu kini terlalu mudah diucapkan orang, seolah suatu kebenaran
yang mutlak, padahal…..
RUSMAN TERTAWA.
HAMID
Dengarkan
dulu!.......
RUSMAN (Tertawa).
Bagaimana kau
bisa berkata begitu, Mid. Itu kan omong kosong. Tidakkah kau perhatikan,
bagaimanapartai yang satu atau pemimpin yang satu membusukkan dan menentang
partai atau pemimpin yang lain, agar partai atau pemimpin yang ditentangnya itu
jatuh untuk kemenangan partainya atau dirinya sendiri? Untuk itu mereka
menghasut, mendusta, menipu, menyogok, mengancam, menculik dan kalau perlu
malah membunuh. Tidakkah berbuat begitu itu busuk semata-mata. Katakanlah
politik itu tidak busuk.
HAMID
Memang, tapi itu
sama sekali tidak berarti, bahwa politik itu kotor. Sama sekali tidak. Itu
hanya berarti, bahwa partai-partai itu sendiri , atau lebih tepat
orang-orangnya itu sendiri yang busuk, yang tidak sanggup berbuat apa-apa, kalau
tidak dengan car-cara yang busuk dan jahat. Jadi jelas, bahwa bukanlah politik
yang kotor dan busuk itu, melainkan orang-orangnya itu sendiri.
RUSMAN (Pada
Pelayan).
Hai bung, coba
kasih beer lagi. Botol kecil saja, ya. Dan ini yang kosong angkat saja.
HAMID
Dengar, Rus,
politik dan pemimpin politik adalah dua hal yang seperti meja dan kursi, sama
sekali tidak sama. Atau lebih tepat lagi, tak ubahnya dengan agama dan
penganutnya atau pemimpinnya. Dua pengertian yang berbeda-beda, karena kalau
yang satu merupakan tugas, maka yang lainnya merupakan petugasnya. Kalau
petugasnya jahat, itu tidak boleh diartikan bahwa tugasnya jahat pula. Betul
tidak? Dan kalau kita ketahui, bahwa politik sebagai tugas ialah berarti
bersama-sama mengatur susunan hidup, sehingga kepentingan dan kebutuhan hidup
tiap orang bisa terpenuhi, lahir maupun batin, maka bisakah kita pertahankan
kebenaran slogan tadi itu yang mengatakan, bahwa politik itu kotor?
RUSMAN (Meneguk
Birnya).
Bagiku
pendapatmu itu terlalu bersifat teori, terlalu abstrak. Karena begitu kurang
penting. Aku melihat kemyataan-kenyataan yang kongkrit.
HAMID
Ini sama sekali
tidak abstrak. Ini malah sangat kongkrit. Jelas toh, bahwa tugas dan petugas
itu adlah pengertian yang tidak sama. Dan selanjutnya, tidaklah jelas pula
bagimu, bahwa sesuatu tugas yang baik dan murni baru bisa dilaksanakan, apabila
petugasnya sendiri mempunyai syarat-syarat yang diperlukan untuk
menjalankannya.
Disinilah
pikirku, letaknya soal; pada petugas-petugas itu sendiri! Apakah ada pada para
petugas itu syarat-syarat yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya yang
begitu tinggi dan begitu murni seperti politik itu?
Tapi yang
penting pula tentunya, apakah syarat-syaratnya itu?
(Merokok)
Saya rasa,
semurni tugasnya, semurni itu pula tentu syarat-syaratnya itu. Dan adakah di
duni ini yang lebih murni, lebih tinggi daripada nilai-nilai dan
prinsip-prinsip hidup yang bertentangan dengan segala kepalsuan, segala dusta
dan sebagainya itu?
(Rusman
Meneguk Lagi Birnya)
Sekarang apabila
kita perhatikan para pemimpin politik kita itu, apakah ada pada mereka itu
syarat-syarat yang berupa prinsip-prinsip dan nilai-nilai hidup yang tinggi
seperti yang kumaksudkan itu?
Saya rasa,
sebelum orang lain, seharusnya mereka sendiri yang mengetahuinya. Mereka
sendiri yang harus pandai mengukur dirinya sendiri. Apabila ternyata harus
berani mencopot dirinya sendiri. Apabila ternyata harus berani mencopot dirinya
sendiri dan kedudukannya sebagai pemimpin.
RUSMAN (Tertawa
Tiba-Tiba)
Kau ini belum juga
berobah, Mid. Masih tetap seorang optimis.
HAMID
Bagaimana?
RUSMAN
Ya, bagaimana
kau bisa mengharapkan, bahwa mereka atas kemauan mereka sendiri akan sudi
mengundurkan diri dari kedudukannya. Ha, ha, untuk berbuat begitu, dibutuhkan
jiwa yang besar
(Tertawa
Dengan Kerasnya).
Lihat bung, saya
rasa, untuk dewasa ini kita akan terlalu jauh masuk kedarah mimpi, kalau kita
ngomong-ngomong tentang jiwa besar, tentang prinsip-prinsip hidup yang tinggi
atau moral yang murni, dan sebagainya.
Kata-kata itu
kini telah menjadi kata-kata asing, bukan saja bagi kaum politik, melainkan
untuk umumnya orang-orang yang hidup pada masa sekarang.
Kata-kata itu
sudah tidak dimengerti lagi, sebab orang jaman sekarang lebih mengerti
kata-kata yang keluar dari mulut ini.
MENGELUARKAN
PISTOL DARI SAKU CELANANYA, MENGACUNG-ACUNGKANNYA
HAMID
Lho, dari mana
kau dapat? Coba lihat….
(Rusman
Menyerahkan Pistolnya)
Ada pelurunya?
RUSMAN
Itulah
sayangnya. Sebutirpun tidak ada. Aku mesti cari. Kau punya?
HAMID (Melihat-Lihat
Pistol Itu)
Darimana aku
punya?
TERDENGAR DARI
LUAR SUARA-SUARA ORANG HENDAK MASUK RESTORAN ITU. HAMID CEPAT-CEPAT
MENYEMBUNYIKAN SENJATA ITU KEDALAM SAKU CELANANYA. TAK LAMA KEMUDIAN MASUK
SEORANG WANITA DIIKUTI TIGA ORANG LELAKI. BERPAKAIAN RAPIH, BERBAJU DAN
BERDASI, SEDANG YANG PEREMPUAN MEMAKAI ROK ABU DENGAN KEMEJA SUTRA PUTIH DENGAN
SEHELAI SAPU TANGAN MERAH HIJAU DI ATAS DADA SEBELAH KIRI.
MEREKA MASUK
SAMBIL RIUH BERCAKAP-CAKAP DAN TERTAWA-TAWA. PELAYAN SEGERA MEMBURU DAN
MEMPERSILAHKAN DUDUK. MEREKA DUDUK DI SUDUT KIRI AGAK KE TENGAH. MEMESAN
MINUMAN DAN MAKANAN RINGAN.
SUMANTRI (Menyalakan
Rokok “Camel”.Pada Mas Abu)
Bagaimana cerita
saudara itu selanjutnya?
MAS
ABU
Ya, sesudah
seluruh kampong pada lari ketakutan, maka… sungguh mati saudara, bukan sombong,
yang berani tinggal hanya aku sendiri. Kemudian baru lima orang pemuda yang
berani juga ikut dengan aku.
Mereka punya
karabiyn masing-masing, sedang aku sendiri Cuma satu colt dan tiga buah granat
tangan. Yang kuning itu, saudara-saudara tahu, yang seperti nanas kecil
bentuknya. Nah dengan kelima pemuda itu, aku cegat musuh itu di atas sebuah
lembah yang sempit.
Saudara tentu
mengerti, betapa berdebar-debarnya hati kami, ketika menunggu musuh itu. Bukan
karena takut. Sungguh mati saudara-saudara, bukan!
Karena perkataan
takut itu sudah lama aku coret dari kamusku. Malah sebaliknya, bukan perasaan
takut, melainkan ada semacam perasaan senang, seperti kalau kita sedang
menunggu….
SAMSU
Seorang kekasih.
TERTAWA
MAS
ABU
Ya, begitulah
kira-kira. Bukan sombong, tapi begitulah kira-kira.
(Tertawa)
Memang, kalau
kita sudah sering bertempur, musuh itu seolah mempunyai daya penarik yang boleh
dipersamakan dengan daya penarik seorang kekasih.
Kita cari
mereka, sepeti orang rindu cari jantung hatinya. Sungguh mari saudara-saudara,
bukan sombong tapi perasaan rindu semacam itu ada padaku ketika itu...
SUMANTRI
Cuma bedanya,
kalau sudah bertemu, saudara tidak cium mereka dengan bibir, melainkan dengan
granat, bukan?
(Tertawa.
Yang lain pun ikut tertawa, kecuali perempuan itu, o yah nama perempuan itu
ratna, sedangkan rusman dan hamid berbisik-bisik.)
Lantas bagaimana
hasilnya pertempuran saudara itu?
MAS
ABU
Hasilnya?
Pasukan musuh itu mampus semuanya, dan senjata-senjatanya kami rampas
semuanya... Ahm kalau aku terkenang lagi kepada pertempuran-pertempuran seperti
itu, kadang-kadang aku ingin kembali ke jaman revolusi itu. Sungguh mati
saudara-saudara, bukan sombong.
SAMSU
(Sambil
Makan Kroket)
Ya, ya, aku bisa
mengerti, sebab akupun begitu juga.
SUMANTRI
(Sambil
Mengudek Kopi Susunya)
Saudara dimana
ketika itu?
SAMSU
Saya? Saya
ketika itu berada di lereng Gunung Galunggung. Saya pun memimpin satu pasukan.
SUMANTRI
Kukira saudara,
memegang bagian perlengkapan.
SAMSU
Memang. Tapi
ketika ada peperangan, saya beranggapan., bahwa saya akan lebih berjasa untuk
nusa dan bangsa, kalau ikut bertempur memimpin suatu pasukan daripada mencari
ban mobil atau mesin tulis dan kertas karbon.
Dan
pertempuran-pertempuran macam yang diceritakan oleh Mas Abu itu, di daerahku
sendiri hampir tiap hari terjadi. Satu kali saya masih ingat ketika hari jumat,
yaitu ketika orang-orang dari kampung kami baru pulang dari mesjid, tiba-tiba
diserang oleh sebuah pesawat pemburu yang sambil melayang-layang sangat rendah
memuntahkan peluru-peluru dari mitralyurnya, sehingga banyak sekali penduduk
yang tidak berdosa mati konyol. Melihat keganasan musuh itu, maka aku tak tahan
lagi. Kupasang mitralyurku, dan ketika pesawat itu rendah sekali terbangnya
sambil menyirami tempatku dengan peluru, maka kubalas dengan semprotan dari
mitralyurku yang semuanya kena sasaran, sehingga pesawat itu segera lari kearah
utara sambil menggeleong-geleong miring kekiri miring ke kanan dn mengeluarkan
asap dari ekornya. Terbakar ia, lalu jatuh entah dimana.
Coba
saudara-saudara bayangkanlah betapa keadaan jiwaku, ketika aku menghadapi
semprotan peluru yang mendesing-desing begitu deras sekitar kedua belah
telingaku.
Takut? Sama
sekali tidak. Seperti Mas Abu, akupun sudah mencoret perkataan takut itu dari
kamusku.
SUMANTRI
Saya pikir,
memang untuk orang-orang yang sudah biasa menghadapi bahaya maut, perkataan
takut ini sudah tidak ada lagi, untuk saya pun perasaan begitu itu sudah hapus.
(Hamid
dan rusman berbisik-bisik lagi).
Semua pengalaman
saudara-saudara itu sungguh seram. Tapi saya rasa lebih seram lagi apa yang
pernah ku alami sendiri. Barangkali saudara-saudara belum mengetahui, bahwa di
samping memimpin partai, aku selama memimpin revolusi itu bekerja sebagai
seorang penyelidik.
Memang sebagai
seorang politikus, kita harus pandai pula menjalankan pekerjaan penyelidik,
karena sebagai politikus kita dengan sendirinya banyak musuh-musuh yang mau
menjatuhkan kita karena politik memang sudah semata-mata berarti perebutan kekuasaan.
(Hamid
dan rusman berbisik-bisik lagi.)
Kalau tidak
awas-awas dan tidk hati-hati, kita mudah terjebak. Itulah maka seorang
politikus harus pandai pula menyelidik. Tapi saudara-saudara tahu, apa
syarat-syarat yang mutlak untuk menjadi seorang penyelidik?
Kesatu, otak
kita harus tajam seperti pisau cukur.
Kedua, kita
harus berani mati seperti orang gantung diri. Kalau kita bodoh dan penakut,
jangan coba-coba kita mau menjadi penyelidik.
Kedua syarat itu
berlaku juga sepenuhnya untuk kaum politik. Orang yang bodoh dan penakut tak
usah ikut-ikut main politik.
(Hamid
dan rusman berbisik-bisik lagi.)
Nah, pada suatu
malam saudara-saudara, yaitu akibat pengkhianatan seorang kawan penyelidik yang
tidak tahan uji ketika dia di tangkap dan disiksa oleh musuh, maka rumahku
tiba-tiba digrebek dan aku tidak bisa meloloskan diri, lalu diangkut ke markas
musuh.
SAMSU
(PADA RATNA)
Nyonya juga ikut
tertangkap?
RATNA
(Sedikit
Tertawa)
O, ketika itu
saya masih gadis. Belum kawin. Dengarpun belum pernah tentang adanya seorang
pemimpin yang bernama Sumantri.
SUMANTRI
Ya, kami baru
setahun ini kawin.
Di markas itulah
mulai terbuka suatu neraka bagi diriku. Ah, saudara-saudara tidak akan bisa
membayangkan, apa artinya neraka itu bagi diriku. Tahu saudara-saudara,
bagaimana seramnya aku di siksa ketika itu?
Ihh! Kalau aku
teringat lagi, aku masih menggigil. Bukan main ngerinya. Mula-mula aku dipukuli
dengan rotan.
(Mengeluh)
Ah tidak
seberapa bung lumayan saja.
(Sinis)
Hanya sekedar
dielus-elus dengan rotan sebesar ibu jari, sehingga akibatnya pun tidak
seberapa pula, Cuma punggungku bergaris-garis seperti punggung kuda zebra. Tapi
biarpun begitu bung, alhamdulillah, aku tetap bungkam, tidak mau membuka
rahasia tentara kita.
Bikinlah aku
mati! Teriakku kepada algojo-algojo itu, tapi aku tidak akan berkhianat
terhadap Nusa dan Bangsa.
(Hamid
Dan Rusman Berbisik-Bisik Lagi.)
Kemudian bung,
aku diseret kedalam sebuah kamar yang para-paranya terbuka. Aku mesti menjalani
siksaan macam lain. Inipun tidak seberapa bung,
(Sinis
Lagi)
Lumayan saja,
Cuma sekedar harus merobah kebiasaanku sehari-hari, kalau biasanya aku tunduk
kepada kehendak Tuhan dengan menempatkan kakiku dibawah dan kepalaku diatas,
kini aku harus menurut kehendak algojo-algojo itu, karena kedua belah kakiku di
gantung pada sebuah balok di para-para, sehingga aku harus melihat dunia yang
terbalik. Tapi biarpun begitu, aku masih bungkam pula. Tidak mau aku
berkhianat. Biar mati deh! Algojo-algojo itu mulai putus asa. Jelas bagi
mereka, bahwa mereka sedang menghadapi seorang patriot yang tidak takut mati.
(Hamid
Dan Rusman Berbisik-Bisik Lagi.)
Esoknya tangan
dan kakiku diikat oleh mereka, lalu badanku digeletakkan diatas tanah seperti
orang kulit putih yang hendak dibakar oleh orang-orang Indian. Aku berbaring
telentang, dan tidak bisa bergerak apa-apa, kecuali mengedip-ngedip dengan
mata. Mulut dan hidungku kemudian ditutupi dengan sehelai sapu tangan yang
dicelupkan kedalam air. Siksaan inipun tidak seberapa bung, masih lumayan juga,
karena Cuma nafasku menjadi mengap-mengap. Tiap kali aku hampir mati tercekit,
maka sapu tangan yang basah itu diangkat sedikit ke atas, tapi segera
ditutupkan lagi ke bawah, apabila aku sudah menarik nafas satu helaan.
Yah, lumayan
juga, tapi aku masih tetap kuat iman. Aku masih bungkam seperti cacing mati.
Dan akhirnya
bung, algojo-algojo itu rupanya sudah betul-betul putus asa. Mereka kemudian
menggunakan siksaan yang terakhir. Bukan main enaknya bung. Badanku
direjam-rejam dengan aliran listrik. Aku sudah tidak mengharapkan bakal hidup
lagi. Tapi alhamdulillah, kini aku masih seperti seekor kambing di kebun sayur.
Dan lebih dari
seekor kambing yang diberi sekeranjang kubis muda, aku merasa puas, karena
sudah bisa mengatasi segala siksaan dengan tidak berkhianat.
HAMID DAN RUSMAN
BERBISIK-BISIK LAGI.
RATNA
(Tertawa
Sinis)
Kalau begitu,
aku ini boleh merasa aman, karena dengan tidak terduga-duga aku ternyata telah
berada ditengah-tengah tiga orang pahlawan yang benar-benar.
SAMSU Iya, karena begitu saudara-saudara, saya rasa
memang sudah sepatutnya dan seadilnya, dan memang sudah ditakdirkan Tuhan kalau
kita sekarang masing-masing mempunyai kedudukan yang lumayan di masyarakat ini.
(Kepada
Mas Abu)
Saudara
misalnya, bekerja sebagai pegawai tinggi, saudara Sumantri sebagai anggota
parlemen dan saya sendiri seorang Importuur, itu semua saya rasa memang
sewajarnya, kalau kita mengingat jasa-jasa kita di jaman revolusi itu. Betul
tidak?
(Hamid
Dan Rusman Berbisik-Bisik Lagi)
Maka sekarang
saudara-saudara, marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama-sama sebagai
patriot-patriot yang sudah berjasa untuk Nusa dan Bangsa. Prosit!
DENGAN WAJAH
RIANG, KETIGA LELAKI ITU BERDIRI MENGACUNGKAN GELAS MASING-MASING, KECUALI
RATNA MASIH DUDUK DENGAN TENANG. HAMID DAN RUSMAN BERBISIK-BISIK SEBENTAR,
KEMUDIAN DENGAN LANGKAH YANG PASTI BERDIRI MENUJU ORANG-ORANG ITU.
RUSMAN MENARIK
PELAYAN MASUK KE BELAKANG.
HAMID
Kulihat
saudara-saudara sekalian sudah pada jemu hidup. Buktinya saudara-saudara menipu
diri sendiri untuk menyelimuti kejemuan itu dengan ngomong-ngomong,
minum-minum, makan-makan. Ketawa-ketawa.
Ketahuilah
saudara-saudara, menipu, mendustai, apalagi menipu dan mendustai diri sendiri
adalah sangat menjemukan. Karena begitu kejemuan hidup dan kebiasaan
saudara-saudara untuk menipu diri sendiri itu merupakan saling pengaruh yang
tak putus-putusnya, sehingga kejemuan hidup saudara-saudara itu makin
menjadi-jadi dan penipuan diri sendiri makin merajalela.
SAMSU
Apa maksud
saudara dengan semua itu? Saudara menuduh kami bahwa kami telah menipu diri
sendiri? Sedangkan saudara tidak mengenal kami sama sekali.bertemu pun baru
sekali ini. Saya misalnya yang berpikiran sehat....
HAMID
Buktinya
saudara? Tak seorang pun dari saudara-saudara itu yang betul-betul memperlihatkan
pribadi saudara yang sebenarnya.
(Pada
Samsu)
Saudara sendiri
misalnya, siapa saudara itu sebenarnya?
SAMSU
Saya? Siapa
saya? Saudara mau tahu, siapa saya? Saya adalah wakil dari perusahaan NV
Melati, yang mengimpor barang-barang tekstil dan pecah belah, juga makanan
dalam kaleng. Nah itulah saya. Kalau saudara catat alamat kantor kami; Jalan
Diponegoro 7 telepon Gambir 1722.
HAMID (Tertawa Enak)
Ha, ha, ha, aku
sudah menduga, bahwa saudara akan memberi jawaban yang lucu seperti itu.
Ha, ha, ha, nah
lihatlah, kenapa saudara mesti berbohong? Kenapa saudara mesti berpura-pura dan
menggunakan kedok bahwa saudara itu seorang wakil dari sebuah NV importuur. Itu
berarti membohongi diri sendiri. Dan itulah yang membikin saudara jemu hidup.
Kenapa saudara
tidak mau berterus terang saja, bahwa saudara itu seorang kiayi.
SAMSU
Apa? Saya kiayi?
HAMID
Ya, saudara
kiayi. Jangan saudara mau coba-coba membohongi aku. Aku tahu bahwa saudara itu
orang yang paling pandai dan paling cerdik. Aku pernah dengar tentang diri
saudara.
SAMSU
Maaf saudara,
saya rasa, lelucon saudara itu boleh saudara dagangkan di Pasar Senen, tapi
disini terang tidak akan laku.
HAMID
(Meletakkan
Tangannya Dipundak Bahu Samsu)
Kiayi salim,
janganlah kiayi berani membohongi aku.
SAMSU
Kiayi Salim?
Namaku Samsu. Samsu, tak kurang tak lebih.
HAMID
Jangan bohong
Kiayi. Tak ada gunanya Kiayi membohongi orang lain. Lagipula berbohong dilarang
oleh tiap agama. Tentu hal itu Kiayi juga ajarkan kepada murid-murid Kiayi,
bukan? Karena begitu, sekarang lebih baik Kiayi menceritakan saja dengan
berterus terang kepada kami, bagaimanakah cara-cara kiayi ampai bisa begitu
berhasil mengikat hati para wanita yang menganut ajaran kiayi?
SAMSU
(Melepaskan
Tangan Dipundaknya Dengan Sangat Jengkel) Jangan pegang aku! Apa ini?
HAMID
(Menutup
Mulut Samsu Dengan Tangannya)
Hai kiayi,
jangan berteriak-teriak begitu. Tidak kiayi lihat? Depan kiayi kan seorang
wanita. Apakah pantas kiayi berteriak begitu keras?
(Setelah
Berkata Begitu Hamid Menarik Kembali Tangannya, Dan Pada Saat Itu Pula
Mengeluarkan Pistol Dari Saku Celananya. Kemudian Ditodongkan Pada Dada Samsu
Serta Dada-Dada Yang Lainnya.)
Saudara-saudara
sekalian, saudara-saudara harus tahu pula bahwa aku ini sangat benci kepada
orang-orang yang suka kepada kepalsuan-kepalsuan menipu diri sendiri dan
berdusta.
(Melihat
Pistol Ditodongkan Orang-Orang Itu Menjadi Gugup, Sumantri Dan Mas Abu Bergerak
Hendak Lari, Tapi Dengan Isyarat Dari Ujung Pistol Mereka Didudukkan Kembali.)
Kawan-kawan, tenanglah.
Jangan gugup dan jangn bergerak, karena bergerak sekarang membikin
saudara-saudara tidak akan bisa bergerak lagi untuk selama-lamanya.
Dan
saudara-saudara tahu, dalam hidup ini, gerak itu sangat penting. Sekali
saudara-saudara, ketahuilah, bahwa aku ini seorang laki-laki yang baik hati.
Aku hanya benci kepada kepalsuan. Karena begitu, kepada orang inipun aku tidak
lain hanya mau menuntut, supaya ia mau mengemukakan pribadinya yang sebenarnya
dan bukan yang palsu. Jadi ia tidak boleh bohong.
SAMSU
Sesungguhnya,
saya tidak bohong. Saya adalah seorang wakil dari NV Melati, suatu perusahaan
impor. Kalau saudara tidak percaya, tanyalah Mas Abu itu.beliaulah yang selalu
mengurus lisensi-lisensi bagi perusahaan kami. Atau lebih baik datanglah
sendiri ke kantor kami; Jalan Diponegoro 7, telepon 1722 Gambir.
HAMID
Kamu bohong,
kiayi Salim. Kamu bohong. Kamu adalah seorang kiayi. Aku tahu.
SUMANTRI (Setengah
Berbisik Pada Samsu)
Ssstt bung!
Bilang saja bahwa saudara betul kiayi. Tak usah segan-segan. Orang ini agaknya
sedikit begini.
MEMBERI ISYARAT
DENGAN TELUNJUKNYA MIRING DIATAS KENING
SAMSU (Berbisik)
Habis saya bukan
kiayi. Saya pedagang. Wakil dari NV Melati, Importuur. Saudara tahu sendiri.
Dia bisa saksikan sendiri. Kantorku di jalan diponegaro 7, telepon 1722.
SUMANTRI
Dia agak malu
saudara, untuk mengakui terus terang bahwa ia seorang kiayi. Padahal sayapun
tahu pula bahwa orang ini memang seperti saudara katakan, seorang kiayi, bukan?
(Pada
Mas Abu)
Dan apa kata
saudara? Tidakkah saudara pun sependapat dengan saya?
MAS
ABU
O, Tentu, tentu.
Sungguh saudara, kalau kutilik benar-benar, memang jelas sekali bahwa saudara
ini mempunyai wajah seorang kiayi. Tapi kenapa saudara ributkan benar hal itu.
Ia kiayi, habis perkara.
HAMID
Aku bukan
meributkan hal itu. Aku hanya ingin mendengar dari pengakuannya sendiri, dari
mulutnya.
MENODONGKAN
PISTOLNYA KE MUKA SAMSU
SAMSU
Baiklah kuakui.
Aku ini seorang kiayi.
(Berdiri)
Dan sekarang
ijinkanlah saya mau kencing dulu ke kakus.
HAMID
O, Tidak boleh.
Tidak boleh. Tahan saja dulu.
(Pada
Yang Lainnya)
Nah saudara,
tidakkah benar apa yang kukatakan tadi? Dia kiayi, bukan?
Dan sekarang,
kiayi Salim, kuulangi lagi pertanyaanku tadi; Bagaimanakah kiayi sampai
berhasil mengambil hati para wanita, sehingga mereka lantas menganut ajaran
kiayi. Ceritakanlah. Singkat saja.
MERAPATKAN MULUT
PISTOLNYA TEPAT KEPELIPIS SAMSU
SAMSU
Baiklah,
baiklah. Akan kuceritakan... tapi, janganlah pistolmu ini ditekankan begitu
kepada kepalaku. Nanti meletus. Aku takan bisa bercerita lagi nanti.
HAMID (Menarik
Pistolnya)
Ayo mulailah
sekarang dengan ceritamu. Bagaimana cara-caramu untuk memikat wanita-wanita itu
supaya mereka menganut ajaranmu.
SAMSU
Itu gampang
sekali. Kukawini wanita-wanita itu, lalu mereka dengan sendirinya menganut
ajaranku.
HAMID
Uch! Tolol amat
ceritamu itu, kiayi. Suatu cerita pendek yang terdiri dari dua kalimat, tapi
uch! Alangkah membosankannya. Heran kiayi sendiri tidak mengucapkan;
‘audzubillah atau astagfiru’llah.
(Pada
Mas Abu)
Bukan begitu
saudara? Tidakkah bagi saudara pun sangat membosankan cerita kiayi Salim itu?
MAS
ABU
Ya, ya, sungguh
membosankan. Menyebalkan.
HAMID
Ya, terutama
bagi saudara, tentu lebih membosankan, daripada untuk orang-orang lain, karena
saudara sebagai seorang rentenir tentu lebih tahu daripada orang-orang lain,
apa harganya waktu bagi manusia dalam hidupnya.
MAS
ABU
Ah, maaf saja
saudara, saya tidak mau disebut rentenir. Itu suatu hinaan yang kelewat besar
bagi diri saya sebagai seorang pegawai tinggi, karena merentenkan dilarang oleh
negara....
HAMID
Juga oleh agama,
bukan begitu kiayi Salim?
SAMSU HANYA
MENGANGGUK PASIF.
MAS
ABU
Ya, karena
begitu, maka saya merasa kelewat terhina oleh saudara. Dan karena begitu, saya
akan dakwakan saudara pada polisi. Sungguh mati, bukan sombong, saya merasa
terhina.
HAMID
Seorang rentenir
tahu benar, berapa harganya satu tahun, satu bulan, satu minggu, satu hari,
satu jam, satu menit dan satu detik untuk kantongnya sendiri.
Bukan begitu
saudara?
(Mas
Abu Mengangguk Pasif, Karena Todongan Pistol Itu)
Karena begitu,
saudara tentu paling merasa dirugikan oleh kiayi itu, karena waktu saudara
diboroskan untuk mendengarkan cerita yang membosankan itu.
Sekarang,
cobalah saudara ceritakan kepada kami, bagaimana caranya untuk mendapat uang
banyak dengan tidak usah bekerja apa-apa.
MAS
ABU
Saya tidak tahu,
karena sungguh mati saya ini bukan rentenir. Saya pegawai negeri, bukan
sombong, saya ini seorang pegawai tinggi dari kementrian....
HAMID
E e e, Saudara
tetap tidak mau mengaku!
(Pada
Samsu)
Hai kiayi Salim,
ini orang mau mengelabuhi dirinya sendiri dan diri kita semua. Dia seorang
rentenir, tapi mengakukan dirinya pegawai negeri.
Ha, ha, ha
rupanya kawan kita ini takut dituduh orang, bahwa ia kerjanya Cuma menyuruh
orang lain bekerja keras, sedangkan dia sendiri hanya enak-enak saja
bermalas-malas dan hanya tahu menghitung-hitung hari dan bulan untuk menagih
uangnya.
Tidakkah kiayi
lihat, bahwa orang ini adalah seorang rentenir?
SAMSU
Setahu saya,
beliau itu memang seorang pegawai tinggi. Dan saya yakin benar, karena urusan
lisensi dari perusahaan kami NV Melati yang alamatnya di Jalan Diponegoro 7,
selalu diurus oleh beliau.
HAMID (Menodongkan
Pistolnya Kemata Samsu)
Tidakkah jelas
bagi kiayi, bahwa orang ini seorang rentenir?
SUMANTRI (Berbisik)
Bilang saja ya!
SAMSU
Ya, sekarang
jelas, saya tidak keliru lagi. Memang sekarang jelas, bahwa ia adalah seorang
rentenir.
HAMID (Kepada
Mas Abu)
Nah, saudara
dengar sendiri dari mulut kiayi itu. Saudara bukan pegawai negeri. Sedikitpun
memang tak ada bukti-buktinya bahwa saudara seorang pegawai negeri.
Ha, ha, ha,
corak dan gaya seorang pegawai negeri dan juga sifat-sifatnya ‘kan lain
daripada seorang rentenir?
(Pada
Samsu)
Bukan begitu
kiayi?
(Samsu
Mengangguk)
Nah, kiayi Salim
pun sependapat dengan saya. Dan saudara jangan lupa, bahwa kata-kata dari
seorang kiayi harus kita percayai. Kalau tidak, ia bukan lagi kiayi. Persis
seperti terhadap kata-kata seorang pemimpin politik, bukan? Kita harus percaya.
Kalau tidak, ia bukan pemimpin politik lagi.
(Kepada
Sumantri)
Betul tidak
saudara?
(Sumantri
Mengangguk Yakin)
Nah saudara,
sekarang kuulangi lagi permintaanku tadi itu. Ceritakanlah, bagaimana caranya
saudara bisa mendapat uang dengan bermalas-malas. Singkat saja!
MAS
ABU (Dengan
Gelisah)
Aku tahu, bahwa
orang-orang lain membutuhkan aku. Kugunakan kebutuhan orang-orang itu.
HAMID
Uch!! Sama
tololnya cerita saudara dengan cerita kyai tadi. Panjangnya pun sama. Cuma dua
kalimat, tapi membosankan, uch! bukan main ! Siapa yang tak jemu mendengarnya.
(Pada
Sumantri)
Saya sungguh
tidak mengerti, kenapa istri saudara yang begitu manis itu saudara biarkan saja
dibikin jemu dengan dongeng-dongeng macam yang baru kita dengar dari mulut
kedua orang itu. Padahal saudara sebagai seorang penjual obat yang suka
melindungi orang-orang lain dari bahaya penyakit.
Penyakit tentu
pertama-tama akan ingat kepada istri saudara sendiri. Supaya ia terlindungi
dari suatu penyakit yang amat berbahaya seperti penyakit jemu itu.
Saudara toh
betul penjual obat bukan?
(Sumantri
hanya mengangguk dengan senyum lunak. berseru gembira)
Aha, saudara
lebih mudah dari kawan-kawan saudara yang lain. Saudara tidak membantah dulu.
Memang saudara takkan berani membantah karena sifat pekerjaan saudara tidak
mengijinkan. Pekerjaan saudara ialah berhadapan dengan publik saudara. Publik
yang saudara harus pikat hatinya supaya mau membeli obat-obatan saudara. Jadi
membantah hanya akan diketawakan oleh publik saja. Dan diketawkan pblik itu
tidak enak bukan? Malah minggu yang lalu ada seorang tetanggaku yang pada pagi
buta terdapat sudah berayun-ayun pada sebatang pohon di kebunnya. Ia ternyata
sudah memilih mati daripada hidup diketawakan publik.
Bagaimana sikap
saudara? Apa yang lebih baik bagi saudara; mati atau diketawakan orang?
SUMANTRI
Sayapun lebih
baik mati.
HAMID
Terang bagiku,
bahwa kedudukan saudara sebagai seorang tukang obat itu sunggu ruwet. Mati
saudara tentu tidak mau karena memang mati itu tidak sehat. Sedangkan
diketawakan orangpun tentunya bagi saudara sangat berabe pula, karena
diketawakan publik itu pada akhirnya akan mengakibatkan mati juga seperti
tetanggaku itu.
Karena begitu
saudara tentunya harus mencari jalan, supaya jangan mati dan jangan diketawakan
pula.
Bukan begitu
saudara?
(Sumantri
Mengangguk)
Tapi ruwetnya
bagi saudara ialah oleh karena publik itu mau diyakinkan bahwa obat-obatan
saudara betul-betul mujarab. Dan ruwetnya lagi karena bagi publik itu tidak ada
yang paling meyakinkan daripada bukti-bukti yang nyata. Ruwet bukan?
(Sumantri
Mengangguk Lagi)
Tapi biarpun
begitu, saya tahu, bahwa soal itu tidak begitu ruwet bagi saudara, seperti
misalnya untuk orang lain. Karena saudara mempunyai suatu cara yang istimewa
untuk memikat hati publik dengan tidak usah membikin mereka yakin dengan
bukti-bukti yang nyata itu. Betul tidak?
(Sumantri
Mengangguk Lagi.)
Aku tahu bahwa
cara saudara yang istimewa itu ialah dengan jalan menyanyi. Bukan begitu?
(Sumantri
Mengangguk Lagi)
Ha, ha, sungguh
mudah saudara ini, tidak ada yang perlu dibantah rupanya.
(Samsu
Bergerak Hendak Lari. Hamid Mengarahkan Pistolnya.)
Hai, kiayi,
kenapa kiayi mau lari. Sabarlah dulu. Kita dengarkan dulu saudara tukang obat
ini menyanyi sedikit untuk kita, supaya penyakit jemu hidup itu hilang dari
saudara. Coba bung, silakan menyanyi sekarang.
SUMANTRI
BIMBANG.
SUMANTRI
Saya tidak bisa
menyanyi.
HAMID
Lihat
saudara-saudara, ternyatalah kini bahwa saudara penjual obat ini mempunyai
darah seni pula yang sungguh-sungguh murni. Buktinya, iatidak mau disebut
pandai menyanyi, padahal kita tahu, bahwa ia seorang biduan yang ulung. Persis
seperti tiap seniman besar yang selalu membantah kalau ia di sebut seniman
besar. Seniman besar memang tidak mau menonjolkan dirinya sendiri. Persis
seperti kawan kita ini.
SUMANTRI
Biar harus
disumpah apa saja, atau sekalipun harus dijatuhi hukuman disiplin partai, namun
saya tetap mengatakan, bahwa saya tidak bisa menyanyi.
HAMID (Melangkah Dekat Sumantri Dengan Pistolnya)
Saudara mau
menyanyi atau tidak?
SUMANTRI
(Melirik
Ke Arah Ratna Kemudian Ke Arah Pistol. Sumbang)
Bengawan solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu...
Menjadi
perhatian insani.
HAMID (Bertepuk Gembira)
Bagus! Bagus!
Sungguh meredu suara menyanyi. Bakat seni inilah yang membikin saudara selalu
berpanen sukses dalam menjual obat kepada khalayak ramai.
(Pada
Samsu)
Tahu kiayi bahwa
pengaruh seni itu bisa menghaluskan hati orang-orang yang biadab?
SAMSU
O, Tentu saja
tahu.
HAMID
Bagus, bagus.
Saya senang mendengarnya. Nah saudara-saudara sekalian. Saudara-saudara
mendengarnya. Nah, saudara-saudara sekalian, saudara-saudara telah melihat
sendiri bahwa saudara-saudara sekarang sudah kembali kepada pribadi saudara
yang sebenarnya. Saya sungguh gembira. Memang dalam hidup ini tidak ada yang
paling busuk daripada kepalsuan, ketidak jujuran, penipuan, dusta.
Ia menemani kita
pada setiap langkah, turut meluncur dari bibir dengan kata-kata yang kita
ucapkan, turut memancar dari wajah kita dengan senyum dan ketawa.
Pendek kata, ia
melekat pada diri kita dan menyelimuti pribadi kita yang sebenarnya seperti
pakaian menyelimuti yang paling indah di dunia ini, yakni badan manusia.
(Pada
Ratna)
Oleh karena itu
nyonya, maka dengan segala hormat, saya minta supaya nyonya sudi membuka
pakaian nyonya.
MENGARAHKAN
PISTOL KEMUKA SUMANTRI
RATNA (Bangkit)
Saudara gila!
HAMID
O, tenanglah
nyonya, tenanglah. Janganlah nyonya terlalu lekas marah. Lekas marah tidak
baik, nyonya, karena orang yang lekas marah lekas tua.
Dan tua itu...
ah, nyonya, tidak ada yang paling berat di dunia ini daripada tua, karena tua
umur menuntut kematangan jiwa yang harus membedakan orang tua dari kanak-kanak.
Suami nyonya tidak akan keberatan apa-apa.
RATNA
Saudara
betul-betul gila. Aku mesti panggil polisi.
HAMID
O, jangan
nyonya. Polisi tidak suka melihat orang telanjang. Nyonya belum dengar, bahwa
kemarin di seluruh kota banyak gembel-gembel yang ditankapi?
(Ratna
Melirik Pada Sumantri, Minta Dibela)
Nyonya lihat
sendiri, suami nyonya tidak keberatan apa-apa. Dia diam. Dan seperti kata
pepatah, orang yang diam berarti menyetujui.
(Merapatkan
Mulut Pistol Ke Telinga Sumantri)
Sebagai seorang
tukang obat yang berdarah seni, tentu saja suami nyonya pun suka pula melihat
badan yang indah dan sehat, sekalipun badan itu badan istrinya sendiri. Bukan
begitu saudara?
(Menekan
Pistolnya)
Ayo jawab.
Saudara tidak keberatan bukan?
SUMANTRI
Saya....
saya..... ya, saya tidak keberatan.
HAMID
Bagus! Itu dengan sendirinya saudara kan
senang juga melihat keindahan?
SUMANTRI
Ya, ya, saya
senang.
(Melirik
Ke Arah Ratna)
Dan.... dan
badan istriku paling cantik di dunia.
HAMID
Bagus ! tapi
rupanya untuk istri saudara belum cukup jelas, bahwa saudara tidak keberatan.
Katakanlah padanya!
SUMANTRI
Ratna,
sebetulnya kakak tidak mau, tapi a, a,.. terpaksa, Ratna kuijinkan, agar...
agar kita selamat semuanya.
Silakan Ratna,
kau buka pakaianmu. Tapi ... a, a, jangan terlalu banyak ratna, sedikit saja.
RATNA
Ha, ha, ha,
itulah pendirianmu sebagai seorang suami? Baiklah kalau begitu. Aku pun suka
yang indah-indah dan sangat jijik kepada segala kekecutan. Baiklah kalau
begitu. Akan kubuka pakaianku.
(Pada
Hamid)
Tapi saudara,
sudikah saudara memerintahkan supaya kiayi dan rentenir itu membalikkan mukanya?
HAMID
O, itu tidak
cukup nyonya.
(Berseru)
Rus! Rus!
(Rusman
Bergegas Datang Dari Belakang)
Mana pelayan,
Rus?
RUSMAN
Saya kunci
diadalam kakus bersama-sama yang lainnya. Berlima orang.
HAMID
(Ketawa)
Lima orang dalam
satu kakus? Ada-ada saja kamu.
RUSMAN
Kita lepaskan?
HAMID
Biar saja dulu.
Tapi tolong ikat mata kiayi dan rentenir ini dengan sapu tangan mereka.
RUSMAN
Tangannya?
HAMID
Tangannya tidak
usah.
(Rusman
Berbuat Sesuai Perintah)
Terima kasih,
Rus. Sekarang kau kembali saja ke belakang. Jaga lagi orang-orang yang kau
kunci di kakus itu.
(Mereka
Berbisik-Bisik Dulu, Kemudian Rusman Pergi)
(Pada
Samsu)
Sebagai kiayi,
saudara tidak boleh melihat badan wanita telanjang yang bukan muhrim.
(Pada
Mas Abu)
Dan saudara
sebagai seorang rentenir tidak baik pula melihatnya, karena bunga ini bukan
bunga yang saudara biasa hitung-hitung tiap hari, tiap bulan.
(Pada
Ratna)
Silakan Nyonya!
SUMANTRI
Ratna.... a,
a,.. sedikit saja. Jangan terlalu banyak bukanya... a, a, asal saja.
RATNA
Peduli apa kamu!
(Tangannya
Sudah Membuka Pakaiannya, Sehingga Bentuk Buah Dadanya Yang Ditutupi Dengan
Bh-Nya Nampak Tegak Dan Berisi)
Saudara ketarik
oleh keindahan badanku ini? Kalau ketarik, tentu saudara ketarik juga oleh
ciumku. Suamiku tentu akan mengijinkan pula.
HAMID (Pada
Sumantri Sambil Menekan Pistolnya)
Boleh?
SUMANTRI
Bbbboleh....
(Pada
Ratna)
Ratna... a, a,
asal saja ciumnya .... a, a, asal menyentuh selewatan saja...
RATNA
MEMONCONGKAN MULUTNYA KE ARAH HAMID. TAPI DENGAN HORMAT HAMID MENGAMBIL TANGAN
RATNA LALU DIANGKATNYA KE BIBIR.
RATNA
Hai! Kenapa
saudara hanya mencium tanganku saja. Suamiku ‘kan sudah memberi ijin untuk
mencium bibirku. Ciumlah bibirku. Atau saudara barangkali lebih suka mencium
aku kalau aku sudah telanjang bulat. Baiklah kalau begitu...
HAMID
Cukup Nyonya,
cukup. Nyonya sudah cukup membikin hatiku bahagia. Pakailah saja lagi pakaian
nyonya itu.
(Ratna
Memakai Kembali Pakaiannya)
Rus! Rus!
(Rusman
Masuk Kembali)
Tolong bukakan
kembali tutyup mata mereka itu. Dan coba tolong pegang pistolku ini. Jagalah
kawan-kawan kita ini, jangan sampai lari keluar, karena diluar banyak angin.
Nanti mereka masuk angin.
(Ia
Menyerahkan Pistolnya Pada Rusman, Kemudian Menuju Meja Semula Dan Menulis
Sesuatu Diatas Secarik Kertas Bon. Kertas Itu Disimpan Dimejanya Dibebani
Dengan Uang Logam. Kemudian Kembali Menuju Orang-Orang Dan Mengambil Kembali
Pistolnya)
Nah,
saudara-saudara, kami sekarang hendak pergi, karena tugas kami untuk menolong
saudara-saudar sudah selesai. Akan tetapi sebelum berangkat, kami ingin memberi
suatu kenang-kenangan kepada saudara-saudara sekalian. Dan kenang-kenangan itu
saya letakkan diatas meja itu.
(Menunjukkan
Dengan Ujung Pistol. Pada Ratna)
Harap nanti,
apabila kami sudah pergi dari sini nyonya sendiri yang mengambilnya untuk
kemudian diperlihatkan kepada kawan-kawan yang lain.
(Kepada
Rusman)
Rus! Bebaskan
dulu orang-orang itu dari kakus dan katakanlah kepada mereka bahwa uang untuk
minuman kita ada diatas meja.
(Rusman
Bergegas Ke Belakang, Tak Lama Kemudian Muncul Kembali. Hamid Menodongkan
Pistolnya Kepada Orang-Orang Sambil Bergerak Mundur Menuju Pintu)
Mari kita
pergi!.
SEPERGI KEDUA
ORANG ITU, MEREKA SEREMPAK MENARIK NAFAS PANJANG, SEDANGKAN RATNA BERGEGAS MENGAMBIL
KERTAS DARI MEJA HAMID.
RATNA (Membacanya.
Keras)
Saudara-saudara,
dengan hati yang puas saya telah berhasil membuka kedok yang selama ini
menutupi pribadi saudara masing-masing.
Sekarang silakan
saudara-saudara melihat dimuka kaca cermin. Cermin takkan memberi bayangan yang
palsu lagi kepada saudara-saudara.
Jelas
akankelihatan, bahwa yang satu adalah seorang pandir, yang kedua seorang tolol,
yang ketiga seorang pengecut dan yang keempat seorang wanita yang gagah berani.
Sedangkan saya
sendiri adalah seorang badut yang suka membuka kedok orang-orang dengan sebuah
pistol yang kosong.
KETIGA
LELAKI
Pistol kosong? Pistol
kosong? Kurang ajar! Sungguh berani dia untuk menghina kita dengan sebuah
pistol kosong. Betul-betul setan luar biasa dia. Kalau aku tahu bahwa pistolnya
kosong...
MEREKA
MENGUTUK-NGUTUK, MENGEPAL-NGEPAL TINJUNYA. RIUH. SAMSU LARI KE PINTU, MELIHAT
KELUAR DIIKUTI OLEH SUMANTRI DAN MAS ABU. KEMUDIAN MEREKA MASUK LAGI.
MENGUTUK-NGUTUK LAGI. MENGEPAL-NGEPAL TINJUNYA LAGI. SEMENTARA TENANG-TENANG
SAJA. MEMANDANGI MEREKA SAMBIL GELENG-GELENG KEPALA.
RATNA (Lantang
Dengan Senyum Mengejek)
Silakan
tuan-tuan, kejarlah orang-orang itu.
Pintu sudah
terbuka luas untuk tuan-tuan.
Dan lampu-lampu
di jalan cukup terang.
Ingin kulihat
kekecutan dan kepalsuan mengejar kejujuran.
PADA SAAT ITU
PULA PELAYAN DAN YANG LAINNYA DARI RESTORAN ITU MASUK DENGAN MUKA YANG GUGUP.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar