Penjual Koran Satu Lengan
Oleh Arswendo Atmowiloto
Lelaki penjual koran dengan satu
lengan sudah menceritakan semua. Sehingga tak ada yang perlu menanyakan siapa
namanya. Atau alamatnya, karena dia bisa dilihat di perempatan jalan, saat
lampu merah.
Sebenarnya bukan perempatan jalan
dalam arti sebenarnya. Karena jalanan itu tidak lurus, sedikit melengkung,
menikung, sehingga lampu merah atau hijau bisa membuat bingung untuk pengendara
dari arah mana. Juga tak ada yang bertanya kenapa tangannya buntung. Wajahnya
tidak murung. Malah mengesankan beruntung memperoleh sinar matahari dari masih
sangat pagi hingga lewat tengah hari. Yang tidak membuatnya lebih hitam, dan
dikenali karena bau tubuhnya yang diteruskan angin yang lelah, yang kalah oleh
asap apa saja.
Karena dianggap sudah
terceritakan semua, tak ada yang bertanya apakah dia punya keluarga, atau
pernah berkeluarga, atau istrinya dua. Yang agak diketahui tetangga, pernah ada
gadis masih sangat muda tinggal di kontrakannya. Gadis belia itu pembantu rumah
tangga keluarga kaya, yang rumahnya sering dilewati penjual koran yang
meminjami majalah atau tabloid. Umurnya sekitar 15 tahun, senyumnya—atau
matanya—anggun, hanya agak malu-malu karena seakan memiliki jakun. Gadis itu
datang ke kontrakannya dan mengatakan akan tinggal selama seminggu. Pembantu
lain dapat liburan Lebaran, tapi gadis yang alisnya tebal dengan suara kental
tak punya rumah tinggal. Lelaki penjual koran itu menasihati, sebaiknya mereka
menikah saja. Gadis itu mau, dan meyakini bahwa dengan tangan satu, lelaki itu
mampu merayu. Lelaki itu juga memberi saran, sementara gadis bertubuh sintal
itu bekerja sebagai pembantu interval yang sangat dibutuhkan. Lumayan dapat
duit tambahan, dan siapa tahu ketemu majikan yang khilaf. Dari koran pula didapat
alamat, dan sejak pergi ke sana, tak pernah kembali lagi. Lelaki itu juga tidak
mencari, tidak merasa rugi, meskipun kadang ingat saat mandi bersama.
Lelaki itu lebih suka bercerita
bahwa adakalanya tangannya menjadi berat, kalau banyak koran menambah halaman,
tapi tidak menambah harga. Atau malah diberi jaket bagus bertuliskan nama
media, karena biasanya lengan panjang dan menambah panas. Paling senang kalau
dagangannya diborong oleh pembeli dadakan karena tidak ingin majalah beredar.
Harganya bisa mahal, tapi itu jarang. Dia mengambil dagangan sesuai kemampuan
menjual, bukan konsinyasi. Kalau tak laku, itu tanggung jawabnya. Kalau siang,
temannya menjual seribu rupiah, tapi dia tetap mempertahankan. Kata-katanya
sedikit mengherankan. ”Saya tak tega. Walau sudah siang, rasanya beritanya
tidak harus menjadi murah.” Ia mengatakan dengan wajah tetap ramah, tidak
marah, tidak juga gelisah.
Entah kenapa tampilannya tidak
terlihat resah, dan tidak pernah menyalahkan. Bahkan ketika perempatan jalan
tempatnya bekerja menjadi bubrah lantaran di atasnya akan dibangun jembatan
layang, dia sama sekali tidak gundah. Langkahnya tetap gagah meloncati batu
atau semen berbongkah, dengan wajah tetap tengadah ke jendela mobil mewah atau
biasa. Semangatnya sama sekali tidak goyah. Malah memberi khotbah pemuda yang
baru pulang kuliah. Katanya, ”Yang menjadi korban jalan layang adalah para
pengasong. Bahkan kalau di jalan layang itu ada kemacetan, kita tetap tak boleh
jualan di situ.” Segala apa dihadapi dengan tabah. Sewaktu listrik di rumah
kontrakannya sering mati mendadak, ia tidak berteriak atau memaki. Ia bahkan
memuji petugas listrik yang baik hati.
”Baik hati kepada nyamuk. Dengan
matinya aliran listrik, nyamuk yang tak bisa masuk kamar berpendingin kini
punya kesempatan. Dengan lampu penerangan yang gelap, nyamuk lebih meluasa
menyergap.” Kalau tetangga kontrakan mengomel soal laporan listrik padam yang
ditanya segala apa sehingga menjengkelkan, ia menasihati: ”Semua laporan
pelayanan sosial dibuat tidak menyenangkan. Tujuannya agar kalian tidak perlu
melapor, membuang pulsa, dan menjadi sakit hati.” Intinya: ”Para petugas sudah
akan memperbaiki tanpa adanya laporan.”
Lelaki berlengan satu itu
menyukai pekerjaannya, melakukan tanpa menggerutu. Bahkan tak tergoda menjadi
pengemis seperti perempuan yang menutupi sebagian wajahnya dengan selendang
biru. Yang pendapatannya jauh lebih besar, tanpa perlu mengambil dagangan dan
menyetorkan penghasilan, seperti dirinya. Perempuan yang menengadahkan
tangannya dan memamerkan wajah pilu itu mendapatkan penghasilan dari rasa iba
sekurangnya setiap sepuluh mobil yang dilalui. Satu kali pemberian bisa seharga
koran yang dijualnya. Yang diterima secara utuh. ”Kamu lebih beralasan mengemis
karena tanganmu satu.” Tapi ia tak melakukan itu. Juga tidak ketika beberapa
ibu-ibu yang lain, berjajar menjadi joki 3 in 1.Padahal, sekali diajak,
pendapatannya cukup besar dibandingkan dengan dirinya.
”Tak apa. Selama masih ada orang
membeli koran di jalanan, saya masih akan jualan.” Kalau ada yang mulai
dikeluhkan terutama karena sinar matahari makin terik, dan pantulan pada aspal
semakin keras menusuk matanya. Sehingga kadang membuat agak kabur,
mengernyitkan jidat dan hati-hati. Juga kalau hujan menderas, ia berteduh dan
mengutamakan koran dagangannya, bukan hanya tubuhnya. Selebihnya biasa-biasa
saja, dan ia menyukai semuanya: panas, hujan atau biasa.
Selalu di jalan yang sama, pada
saat-saat tertentu yang sama, ia mengenali, ia hafal para pengguna jalan. Baik
yang selalu tergesa atau yang tidak tiap hari melalui jalan itu. Baik yang
berpasangan atau yang sambil mencukur kumis, atau sibuk berteleponan, atau yang
tidur lelap. Baik yang menggunakan mobil pribadi—yang kemudian berganti lebih
baru, atau berdiri di pintu mobil angkutan seolah siap turun. Semua menarik
diamati, tetapi ada satu yang memikat. Seorang perempuan—ia yakin itu perempuan
walau tubuhnya ditutup jaket dan helm, dengan sepeda motor warna merah. Karena
selalu berhenti di dekat lampu merah. Lama. Matanya menatap sekitar—walau tersembunyi
di balik helm. Tadinya ia mengira perempuan itu menunggu kesempatan untuk
melintas saat jalanan sepi, atau ada lampu hijau. Tapi karena lama, ia ingin
tahu apa yang dilakukan perempuan bersepeda motor itu. Baru kemudian ia tahu
perempuan itu menunggu sesuatu. Baru setelah sesuatu itu dilihat atau
diketahui, perempuan itu berlalu. Sesuatu yang ditunggu itu, menurutnya
kendaraan lain yang melintas. Jadi setelah melihat kendaraan yang ditunggu
terlintas, perempuan itu meneruskan perjalanan. Ia kemudian tahu bahwa yang
ditunggu adalah mobil warna silver yang keluar dari salah satu perempatan.
Mungkin sekali perempuan itu kekasih pemakai mobil, mungkin apanya begitu,
mungkin kesetiaan yang langka, mungkin lebih dari semuanya.
Lelaki penjual koran sesekali
ingin memberi tahu apakah mobil silver itu sudah lewat atau belum. Tapi ia tak
ingin campur tangan, dan hampir selalu perempuan itu tiba lebih dulu.
Jadinya ia menikmati saja, seolah tak tahu apa-apa, tapi terasakan tungguan
kerinduan itu. Lelaki itu ikut merasa bahagia, menelan ludahnya, berusaha
tersenyum kepadanya. Tak ada jawaban, karena kalaupun ada juga tak terlihat tak
tersirat karena helm menutup rapat.
Ketika koran-koran terbit di hari
libur nasional, ia tidak menjajakan. Mungkin sekali karena perempuan berhelm
itu tidak akan muncul. Ia bisa merasakan menunggu perempuan itu, sama dengan
yang dirasakan perempuan. Mungkin juga sama: perempuan itu tak tahu ditunggu
olehnya, atau pengemudi mobil silver itu ditunggui perempuan berhelm. Padahal pada
hari libur ia tak ke mana-mana. Di kamar kontrakannya, membacai koran lama yang
tak terjual, yang disusun bertumpuk urutan tanggal terbit. Pernah ada yang
datang mencari terbitan tanggal berapa, ia senang kalau bisa memberikan. Dan
menolak dibayar lebih mahal. ”Menjadi sangat berguna tidak selalu harus menjadi
lebih mahal.” Ia betah di rumah—atau kamar kontrakan, yang sudah dihuni
belasan tahun, yang uang sewanya dibayar setiap bulan, yang tetangga kiri kanan
berubah dan berganti, yang penagihnya berganti, yang uang sewanya bertambah,
yang udaranya makin gerah.
Pernah, lelaki berlengan satu itu
berjalan menyusuri jalanan di mana perempuan bermotor itu muncul. Menelusuri
jalanan, memandangi kira-kira dari sebelah mana, bagian mana perempuan itu
mengontrak. Siapa keluarganya, berapa nilai kontraknya, atau umurnya, atau
seperti apa wajahnya. Tapi usaha itu tak diteruskan, karena merasa itu tak
mengurangi rasa ingin tahunya, dan tidak mengurangi kagum pada kesetiaan
perempuan itu. Sebagai penjual koran ia terbiasa dengan potongan-potongan
kehidupan yang berdiri sendiri, tak selalu berhubungan satu dengan yang lain.
Seperti juga anak gadis yang pernah menginap di kamar kontrakannya yang tak
harus ada lanjutan kisahnya sekarang di mana dan sebagai apa, atau masih
ingatkah padanya. Seperti juga perempuan berjaket ketat rapat apa benar
menunggui siapa dan apa hubungannya.
Berita yang dibaca dalam koran
dan majalah yang dijajakan adalah potongan yang berdiri sendiri. Yang heboh
hari ini, roboh sendiri hari berikutnya—atau minggu berikutnya. Yang ceroboh
hari ini, atau melakukan tindakan bodoh, yang tergopoh diberitakan, terlupakan
kemudian. Ia terbiasa membaca begitu di halaman satu, dan merasa tak terlalu
perlu melanjutkan di halaman sambungan. Ia melihat iklan-iklan gede, dan
melupakan bahwa jalanan tempatnya bekerja tak kunjung selesai pembuatannya.
Kalau pun kemudian merasa satu dan hal lain berhubungan, karena ia
menghubung-hubungkan, seperti perempuan bersepeda motor menunggui mobil silver
lewat. Apa benar begitu, ia juga tak tahu persis. Namun ia cukup puas dengan
apa yang diperkirakan, dan merasa menemukan jawaban. Seperti juga mereka yang
melihatnya, mengenali, dan memperoleh jawaban kenapa lengannya satu, kenapa
panas matahari kian menyakitkan mata, dan dagangan yang dibawanya makin tebal,
makin berat. Semua ini membuat bahagia, sehingga kemudian ia mengajak
tetangga sebelah pintu untuk menggantikan berjualan di lampu merah. ”Saya
makin tua, tapi perempatan itu tetap muda. Masih selalu ada pembeli di sana.
Dan mereka tidak bertanya kenapa bukan saya yang berjualan.”
Lelaki satu lengan itu masih di
perempatan. Kali ini ia memperhatikan dan cemas, kalau-kalau perempuan bermotor
itu tak terlihat.
Karya Ilustrasi: Suprobo Prasada
Terbit di Harian Kompas pada 11
Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar